Minggu, 24 April 2011

PENGARUH ALLELOPATI PADA EKSTRAK DAUN Lantana camara TERHADAP PERKECAMBAHAN DAN PERTUMBUHAN BIJI JAGUNG (Zea mays) DAN KACANG HIJAU (Phaseolus radiates)

THE ALLELOPHATY AFFECT OF Lantana camara LEAF EXTRACT ON GERMINATION AND GROWTH OF CORN (Zea mays) AND GREEN BEAN (Phaseolus radiates) SEEDS

MUHAMMAD ROMADHONI (15 09 100 044), IDA WILUJENG ABIDAH UBUDIYAH (15 09 100 055)

Study Program of Biology, Sepuluh Nopember Institute of Technology, Sukolilo, Surabaya, Indonesia

Abstrak
Lantana camara memiliki kandungan senyawa alelokimia yang dapat menghambat perkecambahan dan pertumbuhan beberapa spesies tanaman. Efek penghambatan yang dihasilkan oleh senyawa alelokimia L.camara yang terjadi di alam belum diketahui secara pasti sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengevaluasi potensi alelokimia tersebut. Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak alelokimia daun L.camara terhadap perkecambahan dan pertumbuhan Zea mays dan Phaseolus radiatus dan dilakukan sebanyak 5 kali perulangan untuk tiap variabel. Konsentrasi ekstrak mulai dari 1:7, 1:14, 1:21 diberikan selama 13 hari untuk perkecambahan serta pertumbuhan. Persen perkecambahan, panjang radikula, tinggi tanaman dilaporkan pada akhir praktikum dan data yang diperoleh dianalisa menggunakan ANOVA. Berdasarkan grafik yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa konsentrasi Allelopati yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan biji Jagung (Zea mays) dan biji Kacang Hijau (Phaseolus radiates)adalah 1 : 7. Meskipun sebenarnya berdasarkan uji ANOVA Allelopati pada ekstrak Lantana camara tidak memberikan zat Allelochemis yang berpengaruh terhadap pertumbuhan biji.
Kata kunci : Alelokimia, Lantana camara, Zea mays, Phaseolus radiatus.

Abstract
Lantana camara allelochemic contain compounds that can inhibit the germination and growth of several plant species. Inhibitory effect produced by compound allelochemic L.camara occurring in nature is not known with certainty, so we need a study to evaluate the potential of this allelochemic. This lab aims to determine the effect L.camara allelochemic leaf extract on germination and growth of Zea mays and Phaseolus radiatus and bring 5 times for each variable loop. The concentration of extracts ranging from 1:7, 1:14, 1:21 is given for 13 days for germination and growth. Percent germination, radicle length, plant height was reported at the end of lab work and data obtained were analyzed using ANOVA. Based on the graph obtained, it can be concluded that the concentration allelochemic most influence on seedling growth of corn (Zea mays) and beans Green Beans (Phaseolus radiates) is 1: 7. Although ANOVA allelochemic actually based on Lantana camara extract did not give allelochemic substances that affect seedling growth.
Key words : Allelochemic, Lantana camara, Zea mays, Phaseolus radiates.


PENDAHULUAN
Alelopati merupakan sebuah fenomena yang berupa bentuk interaksi antara makhluk hidup yang satu dengan makhluk hidup lainnya melalui senyawa kimia (Moenandir, 1993). Sedangkan menurut Willis (2007) Alelopati merupakan suatu peristiwa dimana suatu individu tumbuhan yang menghasilkan zat kimia (senyawa-senyawa kimia) dan dapat menghambat pertumbuhan jenis yang lain yang tumbuh bersaing dengan tumbuhan tersebut.
Duke (1985) dalam Moenandir (1993) menjelaskan alelopati selalu dihubungkan dengan peristiwa persaingan antar tanaman dan gulma karena fitotoksisitas dalam mulsa, rotasi dan lain jenisnya. Terdapat banyak fakta yang menunjukkkan bahwa alelopati memegang peranan penting di dalam menentukan pola-pola vegetasi dalam ekosistem alami. Sastroutomo (1990) menjelaskan adanya zona-zona yang nyata berbeda dari seresahnya yang meracuni, merupakan salah satu contoh yang jelas dari keadaan ini.
Senyawa-senyawa kimia yang mempunyai potensi alelopati dapat ditemukan di setiap organ tumbuhan antara lain: daun, batang, akar, rizoma, umbi, bunga, buah, dan bibunga, buah, dan biji serta bagian-bagian tumbuhan yang membusuk (Sukman dan Yakup, 1995). Senyawa-senyawa alelopati dapat dilepaskan dari jaringanjaringan tumbuhan dalam berbagai cara termasuk melalui :
a. Penguapan
Senyawa alelopati ada yang dilepaskan melalui penguapan. Beberapa genus tumbuhan yang melepaskan senyawa alelopati melalui penguapan adalah Artemisia, Eucalyptus, dan Salvia. Senyawa kimianya termasuk ke dalam golongan terpenoid. Senyawa ini dapat diserap oleh tumbuhan di sekitarnya dalam bentuk uap, bentuk embun, dan masuk ke dalam tanah yang akan diserap akar.
b. Eksudat akar
Banyak terdapat senyawa kimia yang dapat dilepaskan oleh akar tumbuhan (eksudat akar), yang kebanyakan berasal dari asam-asam benzoat, sinamat, dan fenolat.
c. Pencucian
Sejumlah senyawa kimia dapat tercuci dari bagian-bagian tumbuhan yang berada di atas permukaan tanah oleh air hujan atau tetesan embun. Hasil cucian daun tumbuhan Crysanthemum sangat beracun, sehingga tidak ada jenis tumbuhan lain yang dapat hidup di bawah naungan tumbuhan ini.
d. Pembusukan organ tumbuhan
Setelah tumbuhan atau bagian-bagian organnya mati, senyawa-senyawa kimia yang mudah larut dapat tercuci dengan cepat. Sel-sel pada bagian-bagian organ yang mati akan kehilangan permeabilitas membrannya dan dengan mudah senyawa-senyawa kimia yang ada didalamnya dilepaskan. Beberapa jenis mulsa dapat meracuni tanaman budidaya atau jenis-jenis tanaman yang ditanam pada musim berikutnya (Rahayu, 2003).
Tumbuhan yang masih hidup dapat mengeluarkan senyawa alelopati lewat organ yang berada di atas tanah maupun yang di bawah tanah. Demikian juga tumbuhan yang sudah matipun dapat melepaskan senyawa alelopati lewat organ yang berada di atas tanah maupun yang di bawah tanah. Alang-alang (Imperata cyndrica) dan Teki (Cyperus rotundus) yang masih hidup mengeluarkan senyawa alelopati lewat organ di bawah tanah, jika sudah mati baik organ yang berada di atas tanah maupun yang di bawah tanah sama-sama dapat melepaskan senyawa alelopati (Rahayu, 2003).
Fenomena alelopati mencakup semua tipe interaksi kimia antar tumbuhan, antar mikroorganisme, atau antara tumbuhan dan mikroorganisme (Einhellig, 1995a dalam Rahayu (2003). Interaksi tersebut meliputi penghambatan dan pemacuan secara langsung atau tidak langsung suatu senyawa kimia yang dibentuk oleh suatu organisme (tumbuhan, hewan atau mikroba) terhadap pertumbuhan dan perkembangan organisme lain. Pengaruh alelopati bersifat selektif, yaitu berpengaruh terhadap jenis organisme tertentu namun tidak terhadap organisme lain (Weston, 1996 dalam Rahayu (2003).
Alelopati pada tumbuhan dibentuk di berbagai organ, di akar, batang, daun, bunga dan atau biji. Organ pembentuk dan jenis alelopati bersifat spesifik pada setiap spesies. Pada umumnya alelopati merupakan metabolit sekunder yang dikelompokkan menjadi 14 golongan, yaitu asam organik larut air, lakton, asam lemak rantai panjang, quinon, terpenoid, flavonoid, tanin, asam sinamat dan derivatnya, asam benzoat dan derivatnya, kumarin, fenol dan asam fenolat, asam amino non protein, sulfida serta nukleosida. Pelepasan alelopati pada umumnya terjadi pada stadium perkembangan tertentu, dan kadarnya dipengaruhi oleh stress biotik maupun abiotik (Einhellig, 1995b dalam Rahayu (2003).
Alelopati pada tumbuhan dilepas ke lingkungan dan mencapai organisme sasaran melalui penguapan, eksudasi akar, pelindian, dan atau dekomposisi. Setiap jenis alelopati dilepas dengan mekanisme tertentu tergantung pada organ pembentuknya dan bentuk atau sifat kimianya (Rice, 1984; Einhellig, 1995b dalam Rahayu (2003).
Mekanisme pengaruh alelopati (khususnya yang menghambat) terhadap pertumbuhan dan perkembangan organisme (khususnya tumbuhan) sasaran melalui serangkaian proses yang cukup kompleks, namun menurut Einhellig (1995b) dalam Rahayu (2003) proses tersebut diawali di membran plasma dengan terjadinya kekacauan struktur, modifikasi saluran membran, atau hilangnya fungsi enzim ATP-ase. Hal ini akan berpengaruh terhadap penyerapan dan konsentrasi ion dan air yang kemudian mempengaruhi pembukaan stomata dan proses fotosintesis. Hambatan berikutnya terjadi dalam proses sintesis protein, pigmen dan senyawa karbon lain, serta aktivitas beberapa fitohormon. Sebagian atau seluruh hambatan tersebut kemudian bermuara pada terganggunya pembelahan dan pembesaran sel yang akhirnya menghambat pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan sasaran.
Perkecambahan biji adalah proses pertumbuhan embrio dan komponenkomponen biji untuk tumbuh secara normal menjadi tanaman baru (Ashari, 1995). Menurut Sastroutomo (1990) perkecambahan didefinisikan sebagai awal dari pertumbuhan suatu biji atau organ perbanyakan vegetatif. Perkecambahan sesungguhnya adalah pertumbuhan embrio yang dimulai kembali setelah penyerapan atau imbibisi (Hidayat, 1995). Menurut Sutopo (2002) terjadi pertumbuhan yang meliputi pertambahan jumlah sel, pembesaran ukuran sel, dan diferensiasi sel menjadi jaringan.
Dalam keadaan normal, semua jaringan yang kompleks dan organ yang membentuk bibit (seedling) dan menjadi tumbuhan dewasa berasal dari sel telur yang dibuahi. Tetapi tidak seluruh bagian biji berasal dari sel telur yang dibuahi. Kulit biji (seed coat) adalah berasal dari tumbuhan induk (sporophyte), dan endosperm adalah berasal dari persatuan antara sperma dengan polar nucleidi dalam embryosac (Sutopo, 2002).
Menurut Sutopo (2002), terdapat dua tipe pertumbuhan awal dari suatu kecambah tanaman yaitu:
1. Tipe epigeal (epigeous) dimana munculnya radikel diikuti dengan memanjangnya hipokotil secara keseluruhan dan membawa serta kotiledon dan plumula keatas permukaan tanah contohnya kedelai
2.  Tipe hypogeal (hypogeous), dimana munculnya radikel diikuti dengan pemanjangan plmula, hipokotil tidak memanjang ke atas permukaan tanah sedangkan kotiledon tetap berada di dalm kulit biji dibawah permukaan tanah seperti palem.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkecambahan biji ada dua macam yaitu: faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam yang mempengaruhi perkecambahan adalah tingkat kemasakan biji, ukuran biji, dormansi dan adanya penghambatan perkecambahan. Sedangkan faktor luar yang mempengaruhi perkecambahan adalah air, temperatur, oksigen, cahaya, dan medium yang dipakai dalam perkecambahan. Kedua faktor terserbut harus diperhatikan dengan baik karena mempengaruhi hasil produksi (Sutopo, 2002).
Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1. Faktor dalam
(i) Tingkat kemasakan benih
Benih yang dipanen sebelum tingkat kemasakan fisiologinya tercapai tidak mempunyai viabilitas tinggi. Pada beberapa jenis tanaman, benih yang demikian tidak akan berkecambah. Pada tingkatan tersebut benih belum memiliki cadangan makanan yang cukup dan juga pembentukan embrio yang belum sempurna (Sutopo, 2002).
(ii) Ukuran Benih
Didalam jaringan penyimpanannya benih memilki karbohidrat, protein, lemak dan mineral. Dimana-mana bahan ini diperlukan sebagai bahan baku dan energi bagi embrio pada saat perkecambahan. Benih yang berukuran besar dan berat mengandung cadangan makanan lebih banyak dibandingkan dengan benih yang kecil. Ukuran benih menunjukkan korelasi positif terhadap kandungan protein pada benih sorghum (sorghum vulgare), makin besar/berat benih maka kandungan proteinnya makin meningkat pula (Sutopo, 2002).
(iii) Dormansi
Benih dikatakan dorman apabila benih itu sebenarnya hidup (viable) tetapi tidak mau berkecambah walaupun di letakkan pada keadaan lingkungan yang memenuhi syarat bagi perkecambahannya. Dormansi dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: impermeabilitas kulit biji terhadap pengaruh mekanis, embrio yang rudimenter, after ripening, dormansi sekunder dan bahan-bahan penghambat perkecambahan (Sutopo, 2002).
2. Faktor luar
(i) Suplai air
Biji menyerap sejumlah air sebelum memulai perkecambahannya. Besarnya kebutuhan air berbeda untuk bermacam-macam jenis biji (Kamil, 1979). Air berfungsi sebagai pelunak kulit biji, melarutkan cadangan makanan, sarana transportasi makanan terlarut dan hormon ke titik tumbuh, serta bersama hormone mengatur elongasi dan perkembangan sel (Sutopo, 2002).
Faktor yang mempengaruhi penyerapan air oleh benih sifat dari benih itu sendiri terutama kulit pelindungnya dan jumlah air yang tersedia pada medium sekitarnya (Sutopo, 2002). Apabila konsentrasi air diluar biji direndahkan (konsentrasi larutan di luar biji dinaikkan) dengan menambahkan sejumlah NH­­4­ kedalam air maka air akan berkurang atau sama sekali tidak akan masuk kedalam biji (Kamil, 1979).
(ii) Temperatur
Pengaruh suhu terhadap perkecambanhan ialah mempengaruhi kecepatan proses permulaan perkecambahan yang meliputi: penyerapan air, hidrolisa makanan cadangan, mobilisasi makanan, asimilasi, respirasi, dan pertumbuhan bibit (Kamil, 1979). Temperatur berpengaruh terhadap proses imbibisi dari daerah di sekitar perakaran ke dalam sel tanaman akan berlangsung terhadap kecepatan aliran translokasi makanan terlarut dan hormon (Sutopo, 2002).
(iii) Oksigen
Perkecambahan biji adalah suatu proses yang berkaitan dengan sel hidup yang membutuhkan energi. Energi yang dibutuhkan oleh suatu proses di dalam sel hidup diperoleh dari proses oksidasi, baik adanya molekul O2 atau tidak (Kamil, 1979). Peranan oksigen dalam proses perkecambahan adalah mengoksidasi cadangan makanan, serta berperan sebagai oksidator dalam perombakan gula atau respirasi. Proses respirasi dapat diringkas sebagai berikut:
Gula + Air            Karbondioksida + Air + Energi C6H12O6. 6O2. 6CO2 .6H2O 673 KKAL
Proses respirasi akan berlangsung selama benih masih hidup. Pada saat perkecambahan proses respirasi akan meningkat disertai pula dengan meningkatnya pengambilan oksigen dan pelepasan karbondioksida, air dan energy yang berupa panas (Sutopo, 2002).
(iv) Cahaya
Kebutuhan benih terhadap cahaya untuk perkecambahannya berbeda-beda tergantung pada jenis tanaman ada yang memerlukan cahaya secara mutlak, hanya untuk mempercepat perkecambahan, cahaya dapat menghambat perkecambahannya, dan benih dapat berkecambah sama baik di tempat gelap atau ada cahaya (Sutopo, 2002). Menurut Kamil (1979) peranan cahaya sebagai factor pengontrol perkecambahan biji.
(v) Penghambat Perkecambahan
Banyak zat yang diketahui dapat menghambat perkecambahan benih, antara lain: larutan NaCL, Sianida, herbisida, caumarin, serta bahan-bahan yang terkandung dalam buah misal: cairan yanmg melapisi biji (Sutopo, 2002).
(vi) Alelopati
Alelopati pada tumbuhan dilepas ke lingkungan dan mencapai organisme sasaran melalui penguapan, eksudasi akar, pelindian, dan atau dekomposisi. Setiap jenis alelopati dilepas dengan mekanisme tertentu tergantung pada organ pembentuknya dan bentuk atau sifat kimianya (Rice, 1984; Einhellig, 1995b dalam Rahayu (2003).
Proses perkecambahan biji merupakan suatu rangkaian kompleks dari perubahan-perubahan morfologi, fisiologi dan biokimia (Sutopo, 2002). Menurut Abidin (1994) dalam peristiwa perkecambahan akan terjadi beberapa proses yang berpengaruh terhadap keberhasilan perkecambahan yaitu: penyerapan air (imbibisi), aktivitas enzim, pertumbuhan embrio pecahnya kulit biji dan membentuk tanaman kecil, selanjutnya memperkuat tubuh tanaman kecil tersebut.
Tahapan-tahapan dalam perkecambahan adalah tahap pertama suatu perkecambahan benih dimulai dengan proses penyerapan air oleh benih, melunaknya kulit benih dan hidrasi dari protoplasma. Tahap kedua dimulai dengan kegiatan-kegiatan sel dan enzim-enzim serta naiknya tingkat respirasi benih. Tahap ketiga terjadi penguraian bahan-bahan seperti karbohidrat, lemak dan protein menjadi bentuk-bentuk yang melarut dan ditranslokasikan ke titik-titik tubuh. Tahap keempat adalah asimilasi dari bahan-bahan yang telah diuraiakan tadi di daerah meristematik untuk menghasilkan energi bagi kegiatan pembentukan komponen dan pertumbuhan sel-sel baru. Tahap kelima adalah pertumbuhan dari kecambah melalui proses pembelahan, pembesaran dan pembagian sel-sel pada titik-titik tumbuh. Sementara daun belum dapat berfungsi sebagai organ untuk fotosintesa maka pertumbuhan kecambah sangat tergantung pada persediaan makanan yang ada dalam biji (Sutopo, 2002).

L. camara merupakan tanaman perdu yang banyak tumbuh di daerah tropis dan subtropis, bunganya yang menarik dan beraneka warna mulai dari putih, merah muda, jingga, kuning, dan ungu membuat tanaman ini sering ditanam sebagai tanaman hias baik yang ditanam dalam pot atau taman. Ekstrak daun L. camara mengandung senyawa yang termasuk alelokimia yaitu lantaden A dan lantaden B yang termasuk golongan terpenoid serta 14 senyawa fenolik. Disebutkan juga bahwa genus Lantana mengandung triterpenoid, flavonoid, fenilpropanoid, furanophthaquinon, dan beberapa senyawa hidrokarbon. Tanaman ini memiliki efek alelopati dengan menghambat perkecambahan biji, pemanjangan akar, dan pertumbuhan beberapa spesies tanaman, diantaranya menghambat pertumbuhan (Oyun,2006).

METODOLOGI
Waktu Lokasi Pengambilan Sampel Daun dan Tempat Pengamatan Sampel
                Pengambilan sampel dilakukan di daerah kampus ITS Sukolilo Surabaya. Pengambilan dilakukan pada hari Kamis, tanggal 24 April 2011 pada pukul 11.00 WIB. Pembuatan ekstrak dan perlakuan terhadap tumbuhan Zea mays serta Phaseolus radiatus selama 13 hari dilakukan di laboratorium botani Gedung H, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Jurusan Biologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember Sukolilo Surabaya.

Alat dan Bahan
                Bahan dan alat yang digunakan yaitu : Sampel daun Lantana camara  yang diduga mengandung zat alelopati (penghasil alelokemis), biji Zea mays, Phaseolus radiatus, aquadest, kertas saring, kapas, 40 botol air mineral 1,5L, 4 botol air mineral 600ml, pisau, gunting, gelas Erlenmeyer, blender, corong penyaring, gelas ukur, pipet dan ember plastik.
Cara Kerja
Langkah pertama yang dilakukan adalah pembuaan ekstrak dari daun Lantana camara sebanyak 200 gram dengan aquades sebanyak 200ml (perbandingan daun Lantana camara dengan aquades 1 : 1). Dari larutan hasil blender kemudian disaring dengan kain dan larutan yang didapat kemudian di sentrifuge 2500 rpm selama 5 menit. Setelah di sentrifuge, bagian supernatant diambil dan dimasukkan kedalam beker gelas, sedangkan endapan dibuang. Untuk mendapatkan variasi konsentrasi larutan dilakukan pengenceran. Pengenceran yang dilakukan adalah, untuk mendapatkan konsentrasi dengan perbandingan larutan:aquadest = 1:7 dengan cara mencampurkan 40ml larutan dengan 280ml aquadest. Sedangkan untuk perbandingan 1:14 adalah dengan cara mencampurkan 20ml larutan dengan 280ml aquadest. Untuk perbandingan 1:21 adalah dengan cara mencampurkan 20ml larutan dengan 420ml aquadest. Hasil penyampuran tadi dimasukkan ke dalam 3 botol aqua ukuran sedang (600ml) yang telah diberi label sesuai perbandingan konsentrasi ekstrak yang dibuat, yaitu 1 : 7, 1 : 14, dan 1 : 21. Masing-masing botol ditutup dengan tutup botol yang dilubangi sedikit agar tidak busuk dan dimasukkan kedalam freezer.
                Langkah kedua adalah pembuatan media tanam untuk biji jagung dan kacang hijau. 20 botol aqua ukuran 1,5 liter dipotong bagian bawahnya menggunakan gunting sebagai pengganti cawan petri. Kemudian dilubangi secukupnya untuk sirkulasi air dan udara agar biji tidak terlalu lembab yang dapat menyebabkan biji busuk. Selanjutnya, diletakkan kapas pada tempat tersebut dan dibasahi. Kapas ini sebagai media pengganti tanah. Kapas-kapas tersebut dibasahi dengan air secukupnya.
                Setelah dilakukan langkah pertama dan kedua, dilakukan penanaman bij jagung dan kacang hijau pada media yang telah dibuat. 5 biji kacang hijau diletakkan pada media yang diberi label konsentrasi pemberian ekstrak, yaitu  1 : 7, 1 : 14, dan 1 : 21 dan 1 media sebagai kontrol. Setiap konsentrasi ekstrak digunakan 3 media penanaman. Jadi, terdapat 3 media penanaman untuk masing-masing konsentrasi, dimana masing-masing media tersebut ditanam 5 biji kacang hijau dan kelima biji tersebut diberi nomor urut. Ekstrak daun Lantana camara yang telah dibuat diberikan pada biji yang telah ditanam sesuai dengan konsentrasi yang telah ditentukan. Ekstrak ini diberikan sebanyak 2 ml pada biji kacang hijau, untuk kontrolnya diberi aquadest dengan volume yang sama. Kemudian dilakukan pengamatan perkecambahannya (diukur perkecambahannya) selama 1 minggu.
                Perlakuan yang sama juga dilakukan pada biji jagung. Selanjutnya, untuk perlakuan yang lain seperti pemberian nomor urut, label, dan pemberian ekstrak sampai pengamatannya adalah sama.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Praktikum amensalisme ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh senyawa alelopati terhadap perkecambahan biji Zea mays dan Phaseolus radiatus. Pada percobaan ini biji Zea mays dan Phaseolus radiatus direndam dengan air sebelum disemaikan. Perendaman ini bertujuan untuk imbibisi dan melunakkan dinding sel sehingga mempercepat proses perkecambahan. Perendaman hanya selama 1 jam agar biji tidak menggembung atau membusuk. Kemudian biji ditiriskan pada media baru berupa kapas yang dibasahi dengan air untuk menumbuhkan kecambah tersebut. Media ini harus selalu basah , tetapi air yang digunakan tidak boleh menggenangi biji karena dapat memunculkan jamur sehingga biji akan membusuk dan mati. Kelembaban diperlukan oleh biji untuk dapat berkecambah dan tumbuh dengan baik.
Senyawa alelokemis yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan tanaman berasal dari tanaman Lantana camara dimana bagian yang digunakan berupa daun. Sejumlah daun dari tanaman tersebut kemudian diekstrak dengan cara diambil daun Lantana camara sebanyak 200 gram kemudian diekstrak menggunakan blender dengan 200 ml air. Setelah dihancurkan, selanjutnya ekstrak disaring dengan kain yang pori-porinya tidak terlalu besar. Awalnya ekstrak yang telah dihasilkan berwarna hijau tua. Namun , setelah disentrifuge selama 10 menit larutan menjadi terbentuk endapan atau 2 fase. Perlakuan ini bertujuan untuk memisahkan filtrat (supernatant) dengan endapan. Kemudian , supernatant diletakkan di dalam beker untuk dibuat larutan alelokemis. Sementara itu , endapan hasil sentrifuge dibuang karena tidak digunakan. Hasil pembuatan ekstrak alelopati dimasukkan pada wadah botol air mineral berukuran 600 ml. Botol berisi ekstrak alelopati disimpan di tempat yang sejuk (atau diletakkan dalam lemari es). Biji jagung dan kacang hijau yang telah diletakkan pada media tanam , ditetesi ekstrak alelokemis sebanyak 1 ml untuk tiap botol. Untuk mengetahui pertumbuhan tanaman normal atau tidak maka dibuat tanaman yang hanya ditetesi aquades/air keran sebanyak 1 ml per botol sebagai kontrol perlakuan dan hasilnya dibandingkan dengan tanaman yang ditetesi dengan alelokemis. Pengamatan dilakukan setiap hari mulai hari ke nol sampai hari ke tigabelas dengan mengukur pertumbuhan panjang epikotil (daerah diatas kotiledon) dan hipokotil (bagian kecambah di bawah kotiledon). Berdasarkan pengamatan pertambahan panjang epikotil dan hipokotil pada kecambah pada dua perlakuan tersebut, nampak bahwa biji yang tidak ditetesi ekstrak alelokemis mengalami pertumbuhan lebih cepat daripada biji yang ditetesi ekstrak alelokemis Hal ini secara jelas menunjukkan bahwa pertumbuhan kecambah akan terhambat bila terkena senyawa alelokemis dari tumbuhan lain.

Dari grafik diketahui bahwa rata-rata pertumbuhan biji meningkat sesuai dengan pengurangan konsentrasi ekstrak. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak Lantana camara tidak memberikan efek zat alelokemis terhadap perkecambahan dan pertumbuhan dari biji Zea mays dan Phaseolus radiatus.
Menurut literatur, seharusnya dengan adanya alelokemis akan menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat sehingga grafik menurun. Alelokemis merupakan suatu senyawa yang dihasilkan oleh tumbuhan alelopati. Senyawa tersebut merupakan senyawa beracun yang biasanya berupa fenol, flavonoid dan terpeten. Pemberian senyawa alelopati dapat menghambat pertumbuhan perkecambahan (pada perlakuan daun). Hal ini dapat dilihat pada perlakuan akar dan daun yang menunjukkan pertumbuhan yang sangat lambat dan semakin terhambat seiring bertambahnya pemberian konsentrasi senyawa allelopathy, yaitu pada pertumbuhan biji dengan pemberian konsentrasi ekstrak 1:7 mengalami pertumbuhan yang paling lambat dibandingkan dengan biji yang diberi ekstrak dengan konsentrasi 1:14 dan 1:21. Mekanisme pengaruh alelokimia (khususnya yang menghambat) terhadap pertumbuhan dan perkembangan organisme (khususnya tumbuhan) sasaran melalui serangkaian proses yang cukup kompleks, namun menurut Einhellig (1995) proses tersebut diawali di membran plasma dengan terjadinya kekacauan struktur, modifikasi saluran membran, atau hilangnya fungsi enzim ATP-ase. Hal ini akan berpengaruh terhadap penyerapan dan konsentrasi ion dan air yang kemudian mempengaruhi pembukaan stomata dan proses fotosintesis. Hambatan berikutnya mungkin terjadi dalam proses sintesis protein, pigmen dan senyawa karbon lain, serta aktivitas beberapa fitohormon. Sebagian atau seluruh hambatan tersebut kemudian bermuara pada terganggunya pembelahan dan pembesaran sel yang akhirnya menghambat pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan sasaran. Alelokimia pada tumbuhan dibentuk di berbagai organ, mungkin di akar, batang, daun, bunga dan atau biji. Organ pembentuk dan jenis alelokimia bersifat spesifik pada setiap spesies. Pada umumnya alelokimia merupakan metabolit sekunder yang dikelompokkan menjadi 14 golongan, yaitu asam organik larut air, lakton, asam lemak rantai panjang, quinon, terpenoid, flavonoid, tanin, asam sinamat dan derivatnya, asam benzoat dan derivatnya, kumarin, fenol dan asam fenolat, asam amino nonprotein, sulfida serta nukleosida. (Rice,1984; Einhellig, 1995). Pelepasan alelokimia pada umumnya terjadi pada stadium perkembangan tertentu, dan kadarnya dipengaruhi oleh stres biotik maupun abiotik (Einhellig, 1995). Berikut adalah gambar bagaimana alelopati menghambat pertumbuhan tanaman lain:
Alelopati tentunya menguntungkan bagi spesies yang menghasilkannya, namun merugikan bagi tumbuhan sasaran. Oleh karena itu, tumbuhan-tumbuhan yang menghasilkan alelokimia umumnya mendominasi daerah-daerah tertentu, sehingga populasi hunian umumnya adalah populasi jenis tumbuhan penghasil alelokimia. Dengan adanya proses interaksi ini, maka penyerapan nutrisi dan air dapat terkonsenterasi pada tumbuhan penghasil alelokimia dan tumbuhan tertentu yang toleran terhadap senyawa ini. Senyawa alelokemis memberikan efek yang bersifat mencegah spesies akan bertunas dan tanaman yang baru tumbuh, mungkin dihubungkan ke kehadiran zat senyawa alelokemis pada Lantana camara yang mengandung lantaden A dan lantaden B yang termasuk golongan terpenoid serta 14 senyawa fenolik. Disebutkan juga bahwa genus Lantana mengandung triterpenoid, flavonoid, fenilpropanoid, furanophthaquinon, dan beberapa senyawa hidrokarbon. Tanaman ini memiliki efek alelopati dengan menghambat perkecambahan biji, pemanjangan akar, dan pertumbuhan beberapa spesies tanaman, diantaranya menghambat pertumbuhan (Oyun,2006).
Dari grafik terlihat bahwa dengan perlakuan normal tanpa penambahan larutan alelokemis menunjukkan pertumbuhan tanaman yang lebih rendah dibandingkan dengan biji yang diberi larutan alelokemis. Serta terdapat beberapa biji yang tidak tumbuh ataupun ditengah-tengah pertumbuhan mengalami kematian. Hal ini disebabkan oleh beberapa kegagalan. Kegagalan ini mungkin saja dapat disebabkan oleh berbagai faktor misalnya:
- Pada awalnya digunakan biji yang kurang bagus, sehingga proses pertumbuhan menjadi tidak sempurna.
-  Pemberian senyawa alelokemis yang terlalu banyak sehingga tumbuhan menjadi mati.
- Media kering atau berjamur, karena kesalahan prosedur praktikum oleh praktikan.

Alelopati di Alam
Salah satu contoh interaksi alelopati di alam terdapat pada hutan pinus. Jika kita mencermati dengan seksama , pada dasar hutan pinus tidak terdapat vegetasi apapun. Hal ini dikarenakan kondisi tanah pada hutan pinus bersifat sangat asam.
Tumbuhan pinus sendiri berinteraksi dengan bakteri yang menempel pada akarnya (mikoriza). Mikoriza tersebut akan menyebabkan daerah penyerapan air pada pohon pinus bertambah luas. Selain itu, dengan keberadaa mikoriza, pinus tidak kekurangan pupuk atau zat hara yang dibutuhkannya. Akan tetapi, zat hara itu menghambat pertumbuhan vegetasi teduhan pada hutan pinus. Keadaan seperti inilah yang dinamakan alelopati.

KESIMPULAN
Berdasarkan grafik yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa konsentrasi Allelopati yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan biji Jagung (Zea mays) dan biji Kacang Hijau (Phaseolus radiates)adalah 1 : 7. Meskipun sebenarnya berdasarkan uji ANOVA Allelopati pada ekstrak Lantana camara tidak memberikan zat Allelochemis yang berpengaruh terhadap pertumbuhan biji.

DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 1987. Dasar Pengetahuan Ilmu Tanaman. Jakarta: PT. Agro Media.
Anonim . 2009. Buku Petunjuk Praktikum Ekologi Tumbuhan . Program Studi Biologi ITS : Surabaya.
Campbell, N.A. 2004. Biologi. Jakarta: Erlangga.
Dasuki, U. 1991 Sistematik Tumbuhan Tinggi. ITB. Bandung.
Djafaruddin. 2004. Dasar-dasar Perlindungan Tanaman. Jakarta: Bumi Aksara.
Einhellig FA. 1995a. Allelopathy: Current status and future goals. Dalam Inderjit, Dakhsini KMM, Einhellig FA (Eds). Allelopathy. Organism, Processes and Applications. Washington DC: American Chemical Society. Hal. 1 – 24.
Einhellig. 1995. Allelopathy Organism, Processes and Applications. Washington DC: American Chemical Society. Hal. 1 – 24.
Ewusie. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. ITB Press: Bandung.
External Input and Sustainabel Agriculture (LEISA).Bogor: Institut
Gardner. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. UI Press: Jakarta.
Hidayat, B.E. 1995. Anatomi Tumbuhan Berbiji. Bandung: ITB.
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Balai Pustaka : Jakarta
Kamil, J. 1979. Teknologi Benih. Padang: Angkasa Raya.
Kurniastutik. 2002. Studi Alelopati Crotalaria retusa (Orok-orok) terhadap perkecambahan Biji Glycine max L, Vigna radiate L dan Vigna sinesis L.
Lewis, R J, dan Sax, Irving. 1987. Howley’s Condersed Chemical Dictionary. New York: Van Nostrand ReinHold Co,pany.
Moenandir, J. 1993. Pengantar Ilmu dan Pengendalian Gulma. Jilid 10. Jakarta: Rajawali Press.
Mugnisjah dkk. 1999. Panduan Praktikum dan Penelitian Bidang Ilmu dan Teknologi Benih. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Pertanian Bogor.
Rahayu, E. S. 2003. Peranan Penelitian Alelopati dalam Pelaksanaan Low
Rajawali Pers.
Rice EL. 1984. Allelopathy. Second Edition. Orlando FL: Academic Press.
Rice. 1984. Allelopathy, Second Edition. Orlando FL: Academic Press.
Sarifuddin, S. A. dkk. 2007. Kamus Pintar IPA. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Sastroutomo. 1990. Ekologi Gulma. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Soekisman. 1994. Pengolahan Gulma di Perkebunan. Jakarta: Gramedia Pustaka
Stilling. 1999. Ecologi: Theories and Apication,Third edition. Pretice-Hall Inc: Upper Saddle River: New Jersey.
Sukman, Y. dan Yakup. 1995. Gulma dan Tekhnik Pengendaliannya. Jakarta:
Sutopo, L. 1998. Teknologi Benih. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Tetelay, F. 2003 Pengaruh Allelopathy Acacia Mangium Wild Terhadap Perkecambahan Benih Kacang Hijau (Phaseolus Radiatus L) Dan Jagung (Zea Mays). Jurnal Penelitian.
Willis, R.J.. 2007. The History of Allelopathy. Australia: University of Melbourne, Parkville,Victoria, Australia.


Lampiran










Minggu, 17 April 2011

Potensi Flora Taman Nasional Meru Betiri



Kawasan Taman Nasional Meru Betiri merupakan hutan hujan tropis dengan formasi hutan bervariasi yang terbagi ke dalam 5 tipe vegetasi yaitu vegetasi hutan pantai, vegetasi hutan mangrove, vegetasi hutan rawa, vegetasi hutan rheophyte dan vegetasi hutan hujan dataran rendah. Kondisi setiap tipe vegetasi di kawasan Taman Nasional Meru Betiri dapat dijelaskan sebagai berikut : 

Tipe Vegetasi Hutan Pantai
Tipe vegetasi ini tersebar di sepanjang garis pantai selatan dalam kelompok hutan yang sempit, umumnya menempati daerah sekitar teluk yang bertopografi datar, misalnya di Teluk Permisan, Teluk Meru, Teluk Bandealit, dan Teluk Rajegwesi. Formasi vegetasi hutan pantai terdiri dari 2 tipe utama yaitu formasi ubi pantai (Ipomea pescaprae), dan formasi Barringtonia (25 - 50 m) pada daerah pantai yang landai dan akan berkurang luasnya jika pantainya terjal dan berbatu. Formasi Pescaprae terdiri dari tumbuhan yang tumbuh rendah dan kebanyakan terdiri dari jenis herba, sebagian tumbuh menjalar. Jenis yang paling banyak adalah ubi pantai (Ipomoea pescaprae) dan rumput lari (Spinifex squarosus). Formasi Baringtonia terdiri dari keben (Baringtonia asiatica), nyamplung (Calophyllum inophyllum), ketapang (Terminalia catappa), pandan (Pandanus tectorius) dan lain-lain.

Tipe Vegetasi Hutan Mangrove
Vegetasi ini dapat dijumpai di bagian timur Teluk Rajegwesi yang merupakan muara Sungai Lembu dan Karang Tambak, Teluk Meru dan Sukamade merupakan vegetasi hutan yang tumbuh di garis pasang surut. Jenis-jenis yang mendominasi adalah pedada (Sonneratia caseolaris) dan tancang (Bruguiera gymnorhiza). Di muara sungai Sukamade terdapat nipah (Nypa fruticans) yang baik formasinya.

Tipe Vegetasi Hutan Rawa
Vegetasi ini dapat dijumpai di belakang hutan payau Sukamade. Jenis-jenis yang banyak dijumpai diantaranya mangga hutan (Mangifera sp), sawo kecik (Manilkara kauki), ingas/rengas (Gluta renghas), pulai (Alstonia scholaris), kepuh (Sterculia foetida).

Tipe Vegetasi Hutan Rheophyt
Tipe vegetasi ini terdapat pada daerah-daerah yang dibanjiri oleh aliran sungai dan jenis vegetasi yang tumbuh diduga dipengaruhi oleh derasnya arus sungai, seperti lembah Sungai Sukamade, Sungai Sanen, dan Sungai Bandealit. Jenis yang tumbuh antara lain glagah (Saccharum spontanum), rumput gajah (Panisetum curcurium) dan beberapa jenis herba berumur pendek serta rumput-rumputan.

Tipe Vegetasi Hutan Hujan Tropika Dataran Rendah
Merupakan hutan campuran antara hutan hujan dataran rendah dengan hutan hujan tropis pegunungan. Aneka flora hutan hujan tropis dataran rendah menutupi hampir semua permukaan daratan Taman Nasional Meru Betiri yang memiliki iklim panas dan curah hujan cukup banyak, serta terbagi merata. Hutan hujan tropis pegunungan di atas ketinggian 600 - 1.300 m dpl. Sebagian besar kawasan hutan Taman Nasional Meru Betiri merupakan tipe vegetasi hutan hujan tropika dataran rendah. Pada tipe vegetasi ini juga tumbuh banyak jenis epifit, seperti anggrek dan paku-pakuan serta liana. Jenis tumbuhan yang banyak dijumpai diantaranya jenis walangan (Pterospermum diversifolium), winong (Tetrameles nudiflora), gondang (Ficus variegata), budengan (Diospyros cauliflora), pancal kidang (Aglaia variegata), rau (Dracontomelon mangiferum), glintungan (Bischoffia javanica), ledoyo (Dysoxylum amoroides), randu agung (Gossampinus heptaphylla), nyampuh (Litsea sp), bayur (Pterospermum javanicum), bungur (Lagerstromia speciosa), segawe (Adenanthera microsperma), aren (Arenga pinnata), langsat (Lansium domesticum), bendo (Artocarpus elasticus), suren (Toona sureni), dan durian (Durio zibethinus). Terdapat pula vegetasi bambu seperti : bambu bubat (Bambusa sp), bambu wuluh (Schizastychyum blumei), dan bambu lamper (Schizastychyum branchyladium). Di dalam kawasan juga terdapat beberapa jenis rotan, diantaranya : rotan manis (Daemonorops melanocaetes), rotan slatung (Plectomocomia longistigma), rotan warak (Plectomocomia elongata) dan lain-lain.
Adapun luas tipe ekosistem pada setiap zonasi Taman Nasional Meru Betiri disajikan sebagaimana pada Tabel 4.1.


Tabel 4.1. Luas Kawasan TN Meru Betiri Menurut Zonasi dan Tipe Ekosistemnya
Zona Pengelolaan
Luas (Ha)
Tipe Ekosistem (Ha)
HM
HP
HR
HHT
HRhe
Zona Inti
27.915
-
620
-
23.870
3.425
Zona Rimba
22.622
7
675
25
20.340
1.575
Zona Pemanfaatan Intensif
1.285
-
925
-
-
360
Zona pemanfaatan khusus
2.155
-
-
-
2.155
-
Zona Rehabilitasi
4.023
-
-
-
3.573
450
J u m l a h
58.000
7
2.220
25
49.938
5.810

Keterangan : HM = Hutan Mangrove; HP = Hutan Pantai; HR = Hutan Rawa; HHT = Formasi Hutan Hujan Tropis; HRhe = Hutan Rheophyte
Sumber : Peta intersect zonasi dan vegetasi tnmb


       Hingga saat ini di kawasan Taman Nasional Meru Betiri telah teridentifikasi flora sebanyak 518 jenis, terdiri 15 jenis yang dilindungi dan 503 jenis yang tidak dilindungi. Contoh jenis yang dilindungi yaitu Balanopora (Balanophora fungosa) yaitu tumbuhan parasit yang hidup pada jenis pohon Ficus spp. dan Padmosari/Rafflesia (Rafflesia zollingeriana) yang hidupnya tergantung pada tumbuhan inang Tetrastigma sp. Selain itu terdapat pula jenis flora sebagai bahan baku obat/jamu tradisional, dimana berdasarkan hasil uji petik di lapangan telah teridentifikasi sebanyak 239 jenis yang dapat dikelompokkan dalam 7 habitus, yaitu bambu, memanjat, herba, liana, perdu, semak dan pohon. Jenis-jenis tumbuhan obat di Taman Nasional Meru Betiri berdasarkan bagian yang digunakannya dibagi ke dalam 19 bagian, yaitu air batang, akar, batang/kayu, biji, buah, bunga, cabang/ranting, daun, getah, kulit batang, pucuk daun, rimpang, semua bagian, umbi, zat pati/zat pahit, nira, abu kayu, air kelapa dan herba bagian atas. Beberapa jenis tumbuhan obat unggulan yang menjadi prioritas untuk dikembangkan adalah Cabe Jawa (Piper retrofractum), Kemukus (Piper cubeba), Kedawung (Parkia roxburghii), kluwek/pakem (Pangium edule), kemiri (Aleuritus moluccana), pule pandak (Rauwolfia serpentina), kemaitan (Lunasia amara), anyang-anyang (Elaeocarpus grandiflora), sintok (Cinnamomum sintok), dan kemuning (Murray paniculata).

Zonasi Mangrove

KOMPOSISI JENIS DAN ZONASI MANGROVE
Kemampuan adaptasi dari tiap jenis terhadap keadaan lingkungan menyebabkan terjadinya perbedaan komposisi hutan mangrove dengan batas-batas yang khas. Hal ini merupakan akibat adanya pengaruh dari kondisi tanah, kadar garam, lamanya penggenangan dan arus pasang surut. Komposisi mangrove terdiri dari jenis-jenis yang khas dan jenis tumbuhan lainnya.
Vegetasi mangrove menjadi dua kelompok, yaitu:
1.       Kelompok utama, terdiri dari Rhizophora, Sonneratia, Avicennia, Xylocarpus.
2.       Kelompok tambahan, meliputi Excoecaria agallocha, Aegicerassp., Lumnitzera, dan lainnya.
Daya adaptasi atau toleransi jenis tumbuhan mangrove terhadap kondisi lingkungan yang ada mempengaruhi terjadinya zonasi atau permintakatan pada kawasan hutan mangrove. Permintakatan jenis tumbuhan mangrove dapat dilihat sebagai proses suksesi dan merupakan hasil reaksi ekosistem dengan kekuatan yang datang dari luar seperti tipe tanah, salinitas, tingginya ketergenangan air dan pasang surut.

Pembagian zonasi kawasan mangrove yang dipengaruhi adanya perbedaan penggenangan atau perbedaan salinitas meliputi :
1.   Zona garis pantai, yaitu kawasan yang berhadapan langsung dengan laut. Lebar zona ini sekitar 10-75 meter dari garis pantai dan biasanya ditemukan jenis Rhizophora stylosa, R. mucronata, Avicennia marina dan Sonneratia alba.
2.   Zona tengah, merupakan kawasan yang terletak di belakang zona garis pantai dan memiliki lumpur liat. Biasanya ditemukan jenisRhizophora apiculata, Avicennia officinalis, Bruguiera cylindrica, B. gymnorrhiza, B. parviflora, B. sexangula, Ceriops tagal, Aegiceras corniculatum, Sonneratia caseolaris dan Lumnitzera littorea.
3.   Zona belakang, yaitu kawasan yang berbatasan dengan hutan darat. Jenis tumbuhan yang biasanya muncul antara lain Achantus ebracteatus, A. ilicifolius, Acrostichum aureum, A. speciosum. Jenis mangrove yang tumbuh adalah Heritiera littolaris, Xylocarpus granatum, Excoecaria agalocha, Nypa fruticans, Derris trifolia, Osbornea octodonta dan beberapa jenis tumbuhan yang biasa berasosiasi dengan mangrove antara lain Baringtonia asiatica, Cerbera manghas, Hibiscus tiliaceus, Ipomea pes-caprae, Melastoma candidum, Pandanus tectorius, Pongamia pinnata, Scaevola taccada dan Thespesia populnea.

Hutan mangrove juga dapat dibagi  menjadi zonasi-zonasi berdasarkan jenis vegetasi yang dominan, mulai dari arah laut ke darat sebagai berikut:
1.      Zona Avicennia, terletak paling luar dari hutan yang berhadapan langsung dengan laut. Zona ini umumnya memiliki substrat lumpur lembek dan kadar salinitas tinggi. Zona ini merupakan zona pioner karena jenis tumbuhan yang ada memilliki perakaran yang kuat untuk menahan pukulan gelombang, serta mampu membantu dalam proses penimbunan sedimen.
2.       Zona Rhizophora, terletak di belakang zona Avicennia. Substratnya masih berupa lumpur lunak, namun kadar salinitasnya agak rendah. Mangrove pada zona ini masih tergenang pada saat air pasang.
3.       Zona Bruguiera, terletak di balakang zona Rhizophora dan memiliki substrat tanah berlumpur keras. Zona ini hanya terendam pada saat air pasang tertinggi atau 2 kali dalam sebulan.
4.       Zona Nypa, merupakan zona yang paling belakang dan berbatasan dengan daratan.
Contoh Zonasi Mangrove

REFERENSI

ALIKODRA, H. S. 1999. Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove dilihat dari Lingkungan Hidup. Prosiding Seminar VI Ekosisitem Hutan Mangrove : 33-44.

BENGEN, D. G. 2004. Mengenal dan Memelihara Mangrove. Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan IPB. Bogor.

NONTJI, A. 2002. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan, Jakarta : 105 – 114.

PRAMUDJI, 2000. Hutan Mangrove di Indonesia: Peranan, Permasalahan dan Pengelolaannya. Oseana XXV (1) : 13 – 20.

PRAMUDJI. 2004. Mangrove di Pesisir Delta Mahakam Kalimantan Timur.Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Jakarta : 3 – 7.

PRAMUDJI & L. H. Purnomo. 2003. Mangrove Sebagai Tanaman Penghijauan Pantai. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Jakarta : 1 – 6.